Dalam masyarakat Indonesia, istilah nikah siri sudah tidak asing lagi. Banyak pasangan memilih jalur ini karena alasan pribadi, sosial, atau ekonomi. Namun, di sisi lain, nikah resmi yang tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) dianggap lebih kuat dari sisi hukum negara.
Lalu, mana yang sebaiknya dipilih: nikah siri atau nikah resmi? Mari kita bahas secara mendalam dari segi hukum Islam, hukum negara, hingga dampaknya bagi pasangan dan anak.
Pengertian Nikah Siri dan Nikah Resmi
1. Nikah Siri
Nikah siri berasal dari kata “sirr” yang berarti rahasia. Dalam praktiknya, nikah siri adalah pernikahan yang dilakukan secara agama tetapi tidak dicatatkan di lembaga resmi negara (KUA atau Catatan Sipil).
Secara agama, pernikahan ini sah jika memenuhi rukun dan syarat nikah Islam: ada calon suami, calon istri, wali, dua saksi, dan ijab kabul. Namun, secara hukum negara, nikah siri tidak memiliki kekuatan hukum administratif.
2. Nikah Resmi
Sebaliknya, nikah resmi adalah pernikahan yang tercatat secara sah di lembaga negara, baik di KUA untuk yang beragama Islam atau Catatan Sipil untuk non-Muslim.
Selain memenuhi syarat agama, nikah resmi juga memiliki dokumen legal seperti buku nikah atau akta perkawinan, yang diakui oleh hukum dan pemerintah.
Perbedaan Nikah Siri dan Nikah Resmi
| Aspek | Nikah Siri | Nikah Resmi |
|---|---|---|
| Status Hukum | Tidak diakui oleh negara | Diakui oleh negara |
| Buku Nikah / Akta | Tidak memiliki | Memiliki dokumen resmi |
| Hak Istri dan Anak | Tidak dijamin secara hukum | Dijamin penuh oleh hukum |
| Status Waris dan Nafkah | Sulit dibuktikan | Memiliki kekuatan hukum |
| Prosedur | Cepat dan tidak memerlukan pencatatan | Harus melalui administrasi KUA / Catatan Sipil |
| Pandangan Sosial | Sering dianggap tabu atau tidak terbuka | Diterima secara luas |
Hukum Nikah Siri Menurut Islam dan Negara
Menurut Hukum Islam
Dalam Islam, nikah siri tetap sah jika memenuhi rukun nikah. Namun, sebagian ulama menekankan pentingnya mengumumkan pernikahan agar tidak menimbulkan fitnah. Rasulullah SAW bersabda:
“Umumkanlah pernikahan dan adakanlah walimah (pesta pernikahan).” (HR. Ahmad, Tirmidzi)
Artinya, meski sah, nikah siri sebaiknya tidak disembunyikan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman sosial.
Menurut Hukum Negara
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) menegaskan bahwa:
“Setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Artinya, nikah siri tidak diakui oleh hukum negara. Jika terjadi perceraian, perebutan hak asuh anak, atau pembagian harta, pasangan nikah siri tidak memiliki dasar hukum kuat untuk menuntut hak-haknya.
Kelebihan dan Kekurangan Nikah Siri
Kelebihan Nikah Siri
-
Proses cepat dan mudah tanpa perlu administrasi panjang.
-
Privasi lebih terjaga, terutama bagi yang ingin merahasiakan hubungan dari publik.
-
Sah secara agama, selama rukun dan syarat nikah terpenuhi.
Kekurangan Nikah Siri
-
Tidak diakui oleh hukum negara, sehingga tidak memiliki perlindungan hukum.
-
Hak istri dan anak tidak dijamin, termasuk hak nafkah, warisan, dan akta kelahiran anak.
-
Rentan disalahgunakan, misalnya oleh pria yang ingin berpoligami tanpa izin istri pertama.
-
Menimbulkan stigma sosial, karena sering diasosiasikan dengan hubungan tersembunyi.
Kelebihan Nikah Resmi
-
Sah secara agama dan negara sehingga memiliki perlindungan hukum yang jelas.
-
Hak-hak pasangan terlindungi, baik dalam hal nafkah, warisan, maupun perceraian.
-
Status anak jelas di mata hukum dan agama.
-
Dapat mengurus administrasi keluarga seperti Kartu Keluarga (KK), BPJS, hingga visa perjalanan.
-
Diakui oleh masyarakat luas, tanpa menimbulkan persepsi negatif.
Dampak Sosial dan Hukum dari Nikah Siri
Nikah siri sering menimbulkan konflik sosial dan hukum di kemudian hari. Misalnya:
-
Anak hasil nikah siri tidak bisa mendapatkan akta kelahiran yang mencantumkan nama ayah, kecuali ada pengakuan resmi melalui pengadilan.
-
Istri dari nikah siri tidak bisa menuntut nafkah atau gono-gini jika terjadi perceraian.
-
Dalam kasus kematian, ahli waris dari nikah siri sulit diakui secara hukum.
Hal-hal ini menunjukkan pentingnya pencatatan pernikahan sebagai bentuk perlindungan hukum, bukan sekadar formalitas.
Kesimpulan: Mana yang Sebaiknya Dipilih?
Baik nikah siri maupun nikah resmi, keduanya memiliki dasar dan konsekuensi masing-masing. Namun, jika dilihat dari sisi keamanan hukum dan perlindungan keluarga, nikah resmi jauh lebih disarankan.
Islam tidak melarang pencatatan nikah; justru pencatatan itu membantu menjaga hak dan kehormatan pasangan. Dengan menikah secara resmi, pasangan tidak hanya sah di mata Allah, tetapi juga terlindungi di mata hukum.
Penutup
Sebelum memutuskan bentuk pernikahan yang akan dijalani, pahami dulu aturan, tanggung jawab, dan akibat hukumnya. Nikah adalah ibadah dan perjanjian suci, bukan sekadar hubungan sementara. Maka, pastikan pernikahan dilakukan dengan cara yang terbuka, sah, dan bertanggung jawab agar mendapat keberkahan di dunia dan akhirat


